Jumat, 31 Mei 2013

Notonagoro, Soeharto, dan SP

Menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014, suhu politik terasa meningkat. Berbagai aktivitas atau bahkan manuver entah langsung atau tidak langsung yang dilakukan oleh tokoh-tokoh politik maupun pendukungnya mengarah pada persiapan pilpres itu.

Sementara itu di bulan Mei sekitar tanggal 12-15, melalui media jejaring sosial, tampak beberapa aktivis sosial, cendekiawan, dan pembela HAM (hak asasi manusia) mengingatkan tragedi kemanusiaan yang terjadi 1998 saat sebelum lengsernya Presiden Soeharto.

Beberapa waktu sebelumnya melalui media jejaring sosial (fb) itu juga saya mendapat kabar adanya stiker yang menggambarkan mantan penguasa Orde Baru (Orba) itu tersenyum dengan dibubuhi tulisan yang kurang lebih berbunyi:"Piye kabare, isih enak jamanku to?" (Apa kabar, masih lebih enak hidup di jaman saya kan?). Sesuatu yang berbau propaganda atau provokasi.

Sebenarnya tidak sedikit cendekiawan yang menolak kembalinya paradigma Orba. Guru besar ekonomi UGM Prof. Dr. Mubyarto (alm) adalah salah satu yang menolak kembalinya paradigma ekonomi Orba yang mengandalkan utang dan investasi asing. Namun tidak semua rakyat mengenal dan memahami hasil pemikiran ilmuwan seperti Pak Muby (Prof. Dr. Mubyarto).

Kebanyakan rakyat hanya mengerti simbol, tidak memahami apa yang ada di balik simbol. Hanya melihat label tidak memiliki kemampuan untuk menguji apakah label atau simbol sudah sesuai isinya atau tidak. Celakanya sering rakyat percaya dengan simbol itu.

Dalam demokrasi langsung, calon presiden atau kepala daerah yang melakukan politik pencitraan bisa menang. Publik memperoleh pemimpin busuk karena antara citra atau label tidak sesuai dengan isi. Hal seperti ini jelas tidak sehat. Suatu simbol atau label seharusnya sesuai dengan isinya karena kalau tidak maka politik pencitraan bisa dianggap sebagai pembohongan atau bahkan penipuan.

Memang kadang simbol dan label memudahkan dan memberi kepraktisan. Suatu makanan olahan hasil laut misalnya, bisa diberi label "bebas logam berat" kalau memang faktanya demikian. Hal itu akan memudahkan konsumen karena tidak semua konsumen memiliki kemampuan untuk melakukan uji kimiawi terhadap produk tersebut. Diperlukan ahli atau lembaga yang kredibel dan memiliki kemampuan untuk menguji apakah suatu label atau simbol sudah sesuai isinya atau tidak.

Paradigma ekonomi Orba sudah banyak dikritik oleh berbagai cendekiawan, seperti saya singgung di atas. Demikian pula kehidupan politiknya yang membungkam kebebasan berpendapat. Buku saya di atas terbit tahun 2004 di jaman reformasi. Saya tidak yakin buku seperti itu bisa terbit di jaman Soeharto. Buku yang berisi teori ekonomi makro biososioekonomi yang mengkritik pewarisan kekayaan berlimpah pada keturunan sendiri seperti buku saya di atas, saya rasa tidak bisa terbit di jaman Soeharto. Ini harus diingat oleh kaum reformis. Tidak ada demokrasi ekonomi kalau masih ada pewarisan kekayaan berlimpah pada keturunan sendiri. Tanpa ada demokrasi ekonomi di samping demokrasi politik, rakyat tetap sengsara, tidak ada kemakmuran sejati yang merata.

Meskipun sebagian cendekiawan telah memberi penjelasan namun kita harus memaksimalkan upaya untuk mencegah kembalinya paradigma Soeharto itu. Media konvensional (cetak dan tv) yang masih banyak dikonsumsi rakyat harus berupaya lebih keras. Selama ini media konvensional itu masih kalah dibanding media internet dengan jejaring sosialnya seperti fb, twitter, dan blog.

Penjelasan ilmiah memang diperlukan namun untuk bisa dipahami rakyat secara meluas, penggunaan simbol sering tidak terhindarkan. Dengan demikian penjelasan itu tidak elitis. Apalagi kalau memang tersedia simbol yang teruji sesuai isinya.

Soeharto sering disimbolkan bagian dari ramalan "notonagoro" yang dikaitkan dengan jaman kemakmuran dan kesejahteraan. Saya tidak tahu persis apakah pada jaman Orla (Orde Lama) ramalan notonagoro itu sudah disebut-sebut atau belum. Kalau belum, mungkin pengkaitan ramalan itu dengan nama Soeharto adalah bagian dari cara-cara mempertahankan status quo. Notonagoro itu multi tafsir. Orang yang namanya memakai to itu sangat banyak, ada Sugiarto, Wiranto, Suprapto, Mubyarto atau bahkan Hani Putranto atau yang lain.

Simbol bahwa Soeharto bagian dari ramalan notonagoro masih dipercaya sebagian rakyat sehingga bisa mengganggu agenda reformasi dan demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik. Namun itu bukan satu-satunya simbol yang tersedia di tengah hidup orang Jawa. Cobalah simak penjelasan berikut. Sebagai suatu simbol apakah soeharto lebih hebat dari r. hani japar? Silakan rakyat menilai. Berapa huruf dalam nama soeharto yang sesuai "notonagoro" hanya dua atau tiga huruf. Bandingkan dengan r. hani japar. Dari RA Parjinah menjadi R Hani Japar itu tidak membuang satu huruf pun, sepuluh huruf cocok semua. Bukankah hal seperti ini adalah kejadian langka? Dalam keyakinan sebagian orang Jawa, pulung kesejahteraan itu dikaitkan dengan perawan (bdk http://www.satriopiningitasli.com/2010/08/tuhan-memenuhi-harapan-juru-kunci-itu.html?m=1). Bukankah hanya RA Parjinah yang berkaitan dengan kesejahteraan? Secara ilmiah pun tidak salah karena hal itu berkaitan dengan teori
ekonomi makro baru biososioekonomi dan berkaitan dengan satrio piningit (sp).

Menurut pengalaman dan pendapat saya sp dan wahyu keprabon itu berkaitan dengan tugas besar seperti menentang pewarisan kekayaan berlimpah kepada keturunan sendiri. Hal semacam itu termasuk tugas besar. Saya sering geli melihat pengamat sp berpendapat bahwa sp adalah orang yang berhasil memberantas korupsi. Benar hahwa korupsi harus diberantas. Tapi hal itu adalah urusan kecil yang tidak memerlukan wahyu keprabon. Harusnya orang Indonesia bisa mengatasi sendiri masalah korupsi seperti di negara-negara lain.

Sebagai suatu simbol ra parjinah, r hani japar, sp, lebih mudah dipahami rakyat meskipun berkaitan dengan ilmu pengetahuan (biososioekonomi) yang kelihatannya rumit bagi rakyat. Maaf ini bukan self glorification, karena peringatan secara halus sudah pernah saya sampaikan dalam tulisan berikut http://www.satriopiningitasli.com/2011/05/media-konvensioanal-juga-berperan.html?m=1. Kalau kata-kata halus tidak dipahami maka dengan sangat terpaksa harus dijelaskan secara lugas, blak-blakan. Apakah simbol ini sesuai isinya? Karena berkaitan dengan biososioekonomi yang bersifat ilmiah maka lebih mudah diuji atau di-cross check pihak lain. Orang yang mengujinya harus memiliki empat kriteria berikut sekaligus: (1)cerdas (2)jujur (3)pemberani (4)menguasai matematika dan akuntansi dengan baik. Tanpa keempatnya pinilainnya terhadap biososioekonomi akan bias.

Ketika aset pribadi yang berjumlah besar seharusnya didaur ulang (dihibahkan) seperti harapan biososioekonomi yang sesuai kaidah akuntansi. Dan ketika aset daur ulang itu harus diredistribusikan ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat sektarian-primordial lainnya, saat itulah kita harus menata ulang negara sebagaimana saya paparkan dalam buku saya di atas. Mungkin itulah yang dimaksud ramalan notonagoro, menata (ulang) negara.

Artikel saya hari ini bukan untuk menghambat seseorang mencalonkan diri dalam pilpres. Juga bukan untuk meminta rakyat untuk memilih saya menjadi presiden atau gubernur. Tetapi untuk mengingatkan kita agar tidak kembali kepada suatu paradigma yang feodal yang anti demokrasi politik dan anti demokrasi ekonomi. Bulan Mei adalah peringatan bagi reformasi, kebangkitan nasional, dan pencerdasan (pendidikan nasional).

Saya sering mengingatkan di blog ini agar kita berubah pada kapasitas dan jabatan kita masing-masing untuk meninggalkan paradigma ekonomi neolib yang anti demokrasi ekonomi menuju paradigma biososioekonomi. Marilah kita memperbaiki diri.


Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

http://www.satriopiningitasli.com/2012/02/be

Sabtu, 25 Mei 2013

Selamat Hari Raya Waisak 2557

Saya pribadi mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak 2557 bagi yang merayakannya.

Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Minggu, 12 Mei 2013

Peringkat Utang RI dan Harga BBM

Baru-baru ini S&P menurunkan outlook (prospek) peringkat utang RI dari positif menjadi stabil (Harian Kontan 6 Mei 2013, hlm 1). Sementara itu di Harian Kontan 7 Mei, tim redaksi yang terdiri dari Rika Theo, Herlina KD, Asep MZ, dan Anna Suci P melaporkan di halaman 1 bahwa "Moody's Ikut-ikutan Menggertak Indonesia"

Di awal tulisan tertanggal 7 Mei itu disebutkan:"Lembaga pemeringkat utang asing tak suka dengan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Itu sebabnya, lembaga pemeringkat utang asing menggertak Indonesia yang lamban mencabut subsidi BBM."

Laporan atau berita itu juga memuat pendapat dua ekonom konvensional yaitu Faisal Basri dan ekonom BII Juniman.

Demikian ditulis: "Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, melihat, kesalahan utama pemerintah adalah lamban menaikkan harga BBM. 'Isu kenaikan harga BBM sudah ramai sejak tahun lalu tapi tidak dilaksanakan, akibatnya ekonomi kita di ujung tanduk,' kata Faisal, kemarin."

Sementara itu di bawahnya disebutkan:"Ekonom BII Juniman berharap pemerintah segera menindaklanjuti peringatan lembaga rating ini. Jika Moody's benar-benar menurunkan peringkat utang Indonesia yang saat ini sudah masuk ke investment grade, 'akan sulit bagi Indonesia untuk tumbuh di atas 6%' tegasnya."

Pemerintah bereaksi dengan mempercepat pencabutan subsidi BBM. Oleh tim redaksi tersebut berita itu diakhiri dengan kata-kata:"Pemerintah gampang nurut ya, jika asing menghardik. Sekalipun itu harus mencabut subsidi BBM.

Begitulah pemerintah dan ekonom konvensional menghadapi persoalan publik seperti subsidi BBM. Persoalan pokoknya bukan pemerintah lamban menaikkan harga BBM tetapi pemerintah tidak mengubah paradigma neolibnya dengan meningkatkan income publik, dengan meningkatkan tax ratio dari pajak progresif atau pajak yang pro demokrasi ekonomi. Dengan mengubah paradigma neolib seperti itu pemerintah baru bisa dikatakan benar-benar pro publik dan pro rakyat bukan pro pemilik modal. Tulisan saya sekitar dua tahun lalu sudah menyinggung agar pemangku kepentingan publik menempatkan diri pada kepentingan publik bukan pada pemilik modal http://www.satriopiningitasli.com/2011/10/publik-vs-pemilik-modal.html
Kemampuan pemerintah membayar utang akan tergantung pada tax ratio-nya bukan pada PDB-nya (bdk http://www.satriopiningitasli.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1)

Kini sampai akhir kuartal I pertumbuhan PDB Indonesia melambat yaitu cuma tumbuh 6,02%. Bandingkan periode yang sama tahun 2012 yang tumbuh 6,29%. Pelambatan itu selain karena lambatnya penyerapan anggaran belanja negara, terbatasnya konsumsi rumah tangga, juga menyusutnya pembentukan modal tetap bruto (PMB) alias investasi.

Kompensasi kenaikan BBM dengan BLSM (bantuan langsung sementara) itu tidak akan menyelesaikan masalah. Peningkatan beban rakyat akibat kenaikan harga BBM tidak akan sebanding dengan besarnya BLSM yang hanya Rp 13 triliun. Sebenarnya daya beli rakyat bisa dijaga atau ditingkatkan secara signifikan dengan peningkatan tax ratio dan income publik dari daur ulang aset privat (seperti harapan teori ekonomi makro biososioekonomi) yang kemudian diredistribusikan besar-besaran sebagai beasiswa dan paket beasiswa. Hal itu juga akan meningkatkan PDB Indonesia dan memperbaiki penyerapan tenaga kerja. Memang semua kuncinya adalah peningkatan income publik (tax ratio, daur ulang aset privat, dan derma). Bahkan kalau tax ratio memadai,17% misalnya, pencabutan subsidi BBM tidak diperlukan. Harga keekonomian BBM hanya boleh diterapkan bila demokrasi ekonomi (biososioekonomi) sudah berjalan secara meluas dan mendalam, bila akumulasi laba sudah dikembalikan kepada publik.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/04/kenaikan-harga-bbm-tidak-bekerja.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/07/kalau-semua-orang-lulus-s1.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/tidak-tepat-waktu.html?m=1