Kamis, 28 Juni 2012

Aset Pribadi Kita Membebani Publik

Bagi mereka yang pernah belajar ilmu ekonomi makro (konvensional) sebenarnya mengetahui bahwa semua deposito pribadi kita adalah liabilitas bagi bank sentral. Penjelasan itu ada pada bagian yang memaparkan perihal bank sentral lengkap dengan rekening T bank sentral yang terdiri dari dua kolom yaitu kolom aset dan kolom liabilitas. Mengapa deposito pribadi kita dimasukkan ke kolom liabilitas bank sentral? Karena sistem harus membayar bunga bagi deposito itu. Karena bank sentral adalah institusi publik yang seharusnya ikut menjaga kesejahteraan publik   maka deposito kita adalah juga liabilitas publik.

Namun teori ekonomi Makro konvensional itu hanya sampai di situ konsep dan pemahamannya terhadap ekonomi makro. Teori ekonomi makro biososioekonomi berkembang lebih jauh dengan memasukkan semua aset pribadi sebagai liabilitas publik. Tidak hanya deposito pribadi kita yang menjadi liabilitas publik tetapi juga saham, property, dan semua aset pribadi lain. Menjadi liabilitas publik berarti membebani publik karena sistem harus membayar laba atau bunga atas aset pribadi kita.

Postingan sederhana namun mendasar ini sengaja saya buat sebagai pengingat dan bahan refleksi pribadi agar kita tidak membebani publik. Pada saat kita memiliki penghasilan yang kurang mungkin kita harus sering meminjam uang tanpa bunga dari saudara atau teman kita hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan atau membayar kontrakan. Hal seperti itu tentu merepotkan saudara atau teman kita. Akan tetapi ketika kita mempunyai penghasilan banyak kita perlu menyadari bahwa kelebihan penghasilan yang menjadi aset pribadi kita itu adalah liabilitas publik. Membebani publik. Apalagi kalau aset besar itu berasal dari warisan. Idealnya kita memiliki penghasilan cukup  dari hasil kerja kita sendiri sehingga tidak merepotkan saudara atau teman dengan hutang tanpa bunga namun juga harus menghindari menerima warisan berlimpah agar tidak membebani publik.

Semoga postingan sederhana ini membawa kita pada refleksi positif untuk berkontribusi meringankan beban publik dan turut serta memajukan kesejahteraan umum itu sesuai dengan kapasitas dan jabatan kita masing-masing.


Rabu, 20 Juni 2012

Pancasila dan Krisis Ekonomi (2)


Terlepas belum dikenalnya teori ekonomi makro secara luas, cara-cara mengatasi krisis baik di negara Zona Euro maupun di AS sebenarnya tidak sesuai dengan logika akuntansi yang sehat dan pruden. Bagaimana pun juga cara yang tepat mengatasi krisis adalah meningkatkan income dan aset. Dalam hal ini tentunya income dan aset publik. 

Pemberian stimulus misalnya, hanya bertujuan meningkatkan PDB meningkatkan total income individual, bukan income publik. Income publik bisa ditingkatkan dengan meningkatkan pajak kekayaan pribadi. Aset pribadi seperti saham, atau properti dijual untuk dipakai membayar pajak atau didermakan kepada publik (society). Demikian juga menghibahkan surat utang negara kepada negara penerbitnya bisa meningkatkan income publik. Selama hal itu tidak dilakukan, krisis ekonomi sebenarnya tetap berlangsung. 

Saya mengamati bahwa tidak mudah bagi ekonom konvensional utk keluar dari pandangan lama bahwa perekonomian makro seperti pabrik raksasa dan oleh karena itu PDB harus selalu digenjot. Berganti paradigma menuju pengelolaan ekonomi publik yang berdasarkan rekening T publik (baik rekening T state maupun society) mungkin susah bagi kebanyakan ekonom konvensional. Dalam kondisi seperti ini, dalam arti kalau ekonom konvensional tidak mau belajar dasar-dasar akuntansi, kita berharap kepada mereka yang secara formal telah belajar akuntansi. Mereka yang memahami akuntansi akan mudah memahami dan mempelajari teori ekonomi makro biososioekonomi yang mengandung demokrasi ekonomi dan ekonomi Pancasila sekaligus. Mereka yang memahami akuntansi dan biososioekonomi harus mengingatkan semua pihak untuk mengelola perekonomian makro secara pruden demi kesejahteraan publik dan kesejahteraan rakyat kebanyakan.

Semoga tulisan sederhana ini dimengerti. 



Minggu, 10 Juni 2012

Pancasila dan Krisis Ekonomi

Sebenarnya tulisan ini hadir seminggu yang lalu untuk ikut merayakan Hari Kelahiran Pancasila. Namun karena beberapa alasan saya geser untuk ditampilkan minggu ini.

Ketika saya memberanikan diri merumuskan teori ekonomi baru, September 2002, saya tidak menamakan teori ekonomi itu sebagai teori ekonomi Pancasila. Tetapi menamakannya biososioekonomi atau dipendekkan menjadi bioekonomi. Sampai sekarang pun saya lebih senang menggunakan istilah itu atau dengan istilah yang lebih tegas teori ekonomi makro biososioekonomi untuk membedakan dengan istilah biososioekonomi yang ternyata dipakai dalam perikanan.

Maksud saya tidak menggunakan istilah ekonomi Pancasila bukan karena mau mengabaikan Pancasila tetapi karena biososioekonomi bersifat global universal sementara Pancasila adalah dasar suatu negara.Tentu saya tidak keberatan kalau dikatakan bahwa biososioekonomi adalah teori ekonomi makro yang pancadilais. Dan kalau benar biososioekonomi adalah ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga maka otomatis sebenarnya biososioekonomi juga memuat ekonomi Pancasila. Bahwa biososioekonomi dikatakan sebagai ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah sudah pernah saya bahas di blog ini.

Selain karena sifat global atau universal biosisioekonomi, keengganan saya menggunakan istilah ekonomi Pancasila adalah agar diskusi mengenai teori ekonomi baru yang saya rumuskan tidak terseret pada politik kekuasaan dengan logika kalah menang, populer atau tidak, punya massa atau tidak, tetapi tetap berada pada jalur ilmiah untuk menemukan kebenaran. 

Ternyata memang sepanjang yang saya amati kalau pejabat pemerintah bicara ekonomi Pancasila itu cenderung miring ke kanan atau cenderung neolib. Hal itu terjadi karena kebanyakan pejabat pemerintah takut untuk mengatakan kebenaran. Debat calon presiden yang berjalan normatif, tidak berani mengatakan kebenaran, menguatkan penilaian saya tersebut.

Untuk itulah saya tetap menggunakan istilah teori ekonomi makro biososioekonomi. Namun kalau kita bicara ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah yang benar-benar jalan tengah hanya biososioekonomilah yang secara konkret benar-benar jalan tengah, tidak miring ke kiri atau ke kanan. Kalau ekonomi jalan tengah merupakan istilah umum dari ekonomi yang didambakan falsafah Pancasila maka kalau saya bicara teori ekonomi makro biososioekonomi itu berarti saya tetap berpegang pada Pancasila.

Saat ini krisis ekonomi sedang melanda beberapa negara zona Euro. Kebanyakan ekonom konvensional masih berpendapat bahwa krisis itu bisa diatasi dengan cara-cara konvensional seperti menerbitkan obligasi (yang berarti menambah hutang), penghematan anggaran dengan mengurangi jaminan sosial, memberi talangan, menggelontorkan stimulus dan cara konvensional yang lain. Namun kalau menurut teori ekonomi makro biososioekonomi solusinya tidak seperti itu. Solusinya adalah meningkatkan pendapatan dan aset publik sehingga aset publik sama dengan liabilitasnya atau milik publik sama jumlah dan nilainya dengan milik privat sehingga terjadi keseimbangan.

Saya berpendapat bahwa krisis ekonomi di zona Euro dan AS adalah suatu  krisis yang mengarah pada krisis kapitalisme dalam hal ini kapitalisme agregat yang berciri pengejaran pertumbuhan PDB atau GNP secara masif.  Secara akuntansi, kapitalisme agregat itu memang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena membiarkan aset privat jauh melampaui aset publik yang berarti liabilitas publik jauh lebih tinggi dari asetnya.
 
Suatu jalan tengah ekonomi terjadi kalau aset publik sama dengan liabilitasnya sehingga menghasilkan nilai aset bersih rekening T publik nol secara kontinyu dalam jangka panjang (dengan catatan pertumbuhan penduduk adalah 0% per tahun). Oleh karena itu saya berpendapat bahwa di tengah krisis itu Pancasila dan teori ekonomi makro biososioekonomi punya peluang menghindari krisis. Saya berharap agar mereka yang saat ini telah mempelajari ilmu akuntansi secara formal mempersiapkan diri untuk ikut mengatasi ancaman krisis karena mereka yang memahami akuntansi adalah orang yang mudah mempelajari teori ekonomi makro biososioekonomi. 

Semoga tulisan ini bermanfaat.


Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2010/11/tiga-alasan-mengapa-biososioekonomi.html

http://www.satriopiningitasli.com/2009/04/krisis-multidimensi-harus-diatasi.html

Minggu, 03 Juni 2012

Catatan Opini Media atas Keadilan Sosial

Kita patut bersyukur bahwa perhatian media terhadap Pancasila akhir-akhir ini membaik di tengah praktek hidup berbangsa dan bernegara yang mencederai nilai-nilai Pancasila. Harian Kompas, misalnya, memuat berita peringatan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang dihadiri mantan presiden dan wakil presiden di Gedung MPR/DPR/DPD. Perhatian itu ditunjukkan dengan memuatnya di halaman pertama di Kompas 2 Juni 2012 lengkap dengan gambar atau bagan yang menyebutkan nilai Pancasila yang terkoyak.

Bagan tersebut bisa anda lihat di postingan saya hari ini. Saya yakin cukup banyak yang membaca  bagan tersebut sehingga memengaruhi persepsi atau opini publik. 

Dalam postingan kali ini saya ingin memberi catatan terhadap bagan tersebut khususnya mengenai sila ke-5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam bagan tersebut masalah keadilan sosial hanya disebut sebagaiv masalah korupsi dan ketimpangan wilayah.

Akar ketidakadilan sosial sebenarnya bukan itu. Akar ketidakadilan sosial adalah akumulasi kekayaan pada sekelompok individu tanpa dikoreksi demokrasi ekonomi, tanpa dikoreksi biososioekonomi. Memang kelemahan media konvensional sering tidak terbuka terhadap akar ketidakadilan sosial seperti itu, tangannya terlalu lemah menulis kebenaran atau ketimpangan sebagaimana dikritik teori ekonomi makro biososioekonomi. 

Teori ekonomi makro biososioekonomi sendiri saya kemas dalam buku saya yang berjudul Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia. Dalam buku itu saya tidak menuntut negara menggunakan hukum positif untuk menghentikan apa yang saya sebut sebagai linierisme individu atau pewarisan kekayaan berlimpah. Namun adanya akar ketidakadilan harus disebut secara lugas. Harapan kita negara bekerja sama dengan pusat-pusat pengaruh dalam civil society untuk mendemokrasikan ekonomi dan mencegah pewarisan kekayaan berlimpah. Sementara itu negara dalam kapasitas dan wewenangnya bisa meningkatkan nisbah pajak_yang saat ini masih sangat rendah yaitu 12,3%_ dengan menyasar golongan atas terutama melalui pajak kekayaan. Kalau nisbah pajak sudah tinggi, negara seharusnya menghapus pajak yang membebani rakyat kecil. Itulah catatan kecil yang menunjukkan adanya hal yang mengoyak nilai keadilan sosial Pancasila.

Semoga catatan kecil ini bermanfaat.