Kamis, 29 Maret 2012

Tidak Tepat Waktu

Tulisan pendek ini sekedar merangkum atau menegaskan apa yang beberapa minggu ini saya posting di blog ini mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak). 

Rencana itu tidak tepat waktu karena dilakukan dalam kondisi daya beli rakyat masih rendah sebagai akibat tidak adanya demokrasi ekonomi dalam paradigma baru yang berdasar pada biososioekonomi. Sebenarnya harga BBM bisa saja disesuaikan dengan harga keekonomian bila demokrasi ekonomi/biososioekonomi sudah dijalankan. Dalam kondisi terakhir ini harga  BBM meskipun secara nominal naik tapi tidak memberatkan rakyat.

Minggu, 25 Maret 2012

Ini Salah Satu Opini, Silakan Dikoreksi Bila Keliru



Pemerintah Bohong Soal Defisit APBN, Berikut Analisa Pakar Ekonomi Kwik dan Anggito

Kamis, 22 Maret 2012 13:28
Kwik Kian Gie

Seruu.com - Pemerintah tak punya alasan apapun untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Demikian jika mengutip analisis neraca perdagangan Minyak dan Gas (Migas) dari ekonom Senior Kwik Kian Gie dan Anggito Abimanyu.

Kwik Kian Gie yang merupakan mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu meragukan alasan pemerintah menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN dari defisit. Dia pun telah menghitung anggaran pemerintah dalam lembar APBN. Hasilnya, bila harga BBM tak dinaikkan, APBN akan memiliki sisa kurang lebih Rp 97 triliun.

Dia mengaku sanggup mempertahankan perhitungan tersebut bila memang diperlukan. Kwik menambahkan, bila pembatalan kenaikan tidak segera dilakukan, bukan tidak mungkin perekonomian akan semakin merosot dan situasi keamanan dalam negeri cenderung kacau.

Berikut 9 analisa Kwik Kian Gie yang dikonfirmasi oleh Anggito Abimanyu, soal manipulasi pemerintah dalam hal bisnis BBM di Indonesia:
1. Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebesar 63 Miliar liter.
2. Pertamina harus impor dari Pasar Internasional Rp 149,887 T
3. Pertamina membeli dari Pemerintah Rp224,546 T
4. Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Miliar Liter @Rp.566,- = Rp35,658 T
5. Jumlah pengeluaran Pertamina Rp410,091 T
6. Pertamina kekurangan uang, maka Pemerintah yang membayar kekurangan ini yang di Indonesia pembayaran kekurangan ini di sebut  "subsidi".
7. Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) = Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia
= Rp410,091 T – Rp283, 5 T = Rp126,591 T
8. Tapi ingat, Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan juga kepada Pertamina (karena Pertamina juga membeli dari pemerintah) sebesar Rp. 224,546 T. Poin kedelapan inilah yang dianggap tidak pernah disampaikan pemerintah kepada masyarakat.
9. Maka kesimpulannya adalah pemerintah malah kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke Pertamina – kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi)
= Rp224,546 T – Rp 126,591 T
= Rp97,955 T

Dalam analisa tersebut, membuktikan bahwa APBN tidak jebol, justru yang menjadi pertanyaan dimana sisa uang keuntungan SBY menjual BBM sebesar Rp. 97,955 Triliun?

Pernyataan dan perhitungan Kwik tersebut secara resmi disampaikan dalam acara Jakarta Lawyer Club dan disiarkan langsung di televisi. Sementara Anggito juga mengkonfirmasi bahwa terdapat surplus operasi migas dalam APBN 2012 namun ia kemudian merevisi pernyataannya dengan menyebutkan surplus tersebut menurun manakala terjadi kenaikan harga minyak dunia.


Kutipan di atas sengaja saya posting di sini silakan para pejabat mengoreksinya bila keliru, bila benar mereka harus membatalkan rencana kenaikan harga BBM.


Sabtu, 24 Maret 2012

Kesalahan Paradigmatis Yang Mendasari BLT

Berikut ini saya kutipkan berita dari Media Indonesia versi on line yang menghitung dampak kenaikan harga BBM terhadap beban rakyat. Url-nya http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/03/22/307320/289/101/Bantuan_Tunai_tidak_Sebanding_dengan_Kenaikan_Harga_Sembako?utm_medium=twitter&utm_source=twitterfeed

YOGYAKARTA--MICOM: Penaikan harga BBM dipastikan akan memicu kenaikan harga bahan kebutuhan pokok hingga mencapai 23,2%. "Itu dengan asumsi penaikan harga BBM Rp1.500 per liter," kata Direktur Mubyarto Institute Universitas Gadjah Mada Dr Fahmy Ridha MBA, Rabu (21/3). 

Dalam seminar tentang BBM di kampus setempat, Fahmy mengungkapkan penaikan harga BBM itu secara signifikan akan memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat, terutama rakyat miskin. Bahkan, mungkin meningkatkan akselerasi pemiskinan rakyat. 

Rakyat miskin tidak terkena dampak langsung penaikan harga BBM, karena bukan konsumen utama. Namun, mereka pasti terimbas, penaikan harga BBM Rp1.500 per liter akan memicu kenaikan inflasi 0,9 persen. "Selama 2012 inflasi akan 6,8 persen." 

Kontribusi terbesar dari inflasi itu, berasal dari sektor transportasi. Karena itu, akan berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan pokok sekaligus menurunkan daya beli rakyat. Dampaknya, meningkatkan jumlah orang miskin 4,5 juta jiwa. 

"Belum termasuk kelompok rentan miskin, yang dipastikan akan masuk menjadi orang miskin," katanya. (OL-11) 

Powered by: Back to Top

FEATURES:



Jelaslah bahwa kenaikan harga BBM akan membebani rakyat. Memang pemerintah sendiri memberikan kompensasi seperti BLT (bantuan langsung tunai) akan tetapi kompensasi itu tidak sebanding dengan beban yang ditanggung rakyat.

Paradigma yang mendasari program BLT sendiri sudah salah sehingga hasilnya tidak akan memuaskan, tidak maksimal. Adapun kesalahan paradigmatis program BLT menurut saya adalah sebagai berikut.

(1) BLT tidak mengganti beban yang ditanggung rakyat karena tujuan pemerintah adalah mengurangi bebannya sendiri dalam APBN. Pemerintah seharusnya meningkatkan tax rationya yang masih rendah (12,3%), dan memberantas korupsi. Peningkatan tax ratio adalah tindakan yang obyektif. Subyektivitas dan obyektivitas saya jadikan bahan refleksi di blog ini akhir 2011. Sekarang refleksi saya akhir tahun lalu terasa manfaatnya.

(2) Memberikan cash transfer (BLT) yang dilakukan oleh suatu institusi besar seperti negara kepada kelompok usia produktif merupakan tindakan yang kurang tepat meski kategori sasaran adalah kelompok miskin. Dalam hal ini garis kemiskinan bukanlah suatu hal yang bisa dipakai untuk melakukan kategorisasi. Apakah yang hidup pada tingkat Rp 20.000,- per bulan di atas garis kemiskinan tidak terkena dampak kenaikan harga BBM? Demikian juga mereka yang hidup pada tingkat Rp 100.000 di atas garis kemiskinan. Seharusnya garis kemiskinan tidak boleh dipakai untuk tujuan cash transfer, secara administratif tidak sederhana. Kategori yang secara administratif sederhana adalah usia, usia non produktif. Usia lansia, pensiun, atau usia sekolah.

Pemerintah menganggap subsidi BBM tidak tepat sasaran, padahal justru dengan menaikkan harga BBM banyak orang terkena dampak kenaikan harga-harga produk dan jasa. Kelompok yang tidak terkena dampak kenaikan harga BBM adalah kalangan atas yang pengeluaran untuk pangan, pendidikan,  dan energi hanya 0,..% - 3% dari pendapatan. Kelompok seperti itu asenya sangat besar. Seharusnya pemerintah meningkatkan tax ratio dengan menyasar kalangan atas seperti ini bukan hanya dengan pajak penghasilan tapi juga pajak kekayaan. Selain itu juga bekerja sama dengan civil society untuk meningkatkan kedermawanan, kegotongroyongan, dan memulai demokrasi ekonomi agar semua anak usia sekolah mendapat paket beasiswa sesuai paradigma biososioekonomi sehingga beban rakyat menjadi ringan. Cara mendistribusikan kekayaan dalam biososioekonomi jauh berbeda dan jauh lebih modern dari cara BLT karena dalam biososioekonomi kekayaan tidak hanya terdistribusi ke sektor riil (beasiswa besar-besaran) tapi juga ke sektor moneter untuk tujuan menguatkan aset bank sentral dan untuk tujuan pengetatan moneter menahan inflasi.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Kamis, 22 Maret 2012

Selamat Nyepi

Selamat Menjalani brata penyepian bagi umat Hindu yang menjalaninya.

Jumat, 16 Maret 2012

Harga BBM, Konsumen, dan Warga Negara

Kalau kita bekerja di suatu perusahaan, maka istilah konsumen mengacu pada mereka yang mampu membeli produk kita. Kepada kelompok yang mampu membeli produk kita itulah segala aktivitas dan komunikasi pemasaran kita lakukan. Dalam kasus seperti itu kita tidak perlu memikirkan mereka yang tidak mampu membeli.

Lain halnya kalau kita sebagai aktivis sosial yang bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan publik melalui demokrasi ekonomi yang berpedoman biososioekonomi. Dalam kasus terakhir kita mengenal semboyan: "Dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen (semua orang)" yang artinya laba (dan kekayaan) berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang) di mana organisasi konsumen bisa ikut berperan mendistribusikannya. Dalam kasus yang terakhir ini tentu yang dimaksud konsumen adalah semua orang baik yang mampu maupun tidak mampu membeli. Mungkin istilah konsumen sosial lebih tegas. 

Berbeda dengan pandangan Marx yang mengatakan bahwa laba adalah hasil eksploitasi buruh, karena buruh dibayar lebih murah dari nilai barang, pandangan demokrasi ekonomi yang berpedoman biososioekonomi menyatakan bahwa laba ada karena konsumen membayar lebih tinggi. Akumulasi dari laba adalah aset atau kekayaan. Kesejahteraan umum tidak akan benar-benar terwujud kalau akumulasi dari laba tidak pernah dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Pandangan neolib yang mengatakan bahwa laba adalah pengembalian yang sah atas modal, titik, tidak akan membawa kita pada kesejahteraan umum yang meringankan beban rakyat.

Pandangan demokrasi ekonomi/biososioekonomi ini secara matematis lebih rasional sehingga seharusnya bisa menjadi pedoman kerja yang obyektif bagi siapa pun baik yang bekerja di ranah civil society maupun state. Gerakan konsumen sosial tidak bertujuan melenyapkan laba, tidak melarang individu mengambil keuntungan dari kegiatan bisnis legalnya. Gerakan konsumen sosial secara damai hanya menuntut bahwa akumulasi laba dikembalikan kepada publik sesuai prinsip teori ekonomi makro biososioekonomi.  Kalau prinsip ini dipahami maka isu rencana pemerintah menaikkan harga BBM seharusnya disikapi secara bijak tanpa nuansa politisasi berlebihan. Baik pihak pemerintah maupun pengkritik harus bersikap wajar dalam arti bahwa masalah kesengsaraan rakyat pada hakekatnya bersumber pada tidak adanya demokrasi ekonomi, tidak dikembalikannya akumulasi laba pada konsumen/publik sesuai prinsip biososioekonomi.Faktanya akumulasi laba itu belum dikembalikan kepafa publik, tax ratio kita rendah, belum ada daur ulang kekayaan pribadi.

Pihak pemerintah seharusnya tidak menjadi budak pemilik modal. Pemerintah seharusnya bekerja sama dengan gerakan konsumen sosial. Dalam kasus kenaikan harga BBM ini organisasi politik (warga negara) bertemu dengan organisasi konsumen (sosial) untuk kepentingan yang sama yaitu mewujudkan kesejahteraan publik. Adanya gerakan konsumen sosial atau organisasi konsumen sosial membuat isu sensitif kenaikan harga BBM menjadi terkendali. Ditangani dengan kepala dingin dengan tetap pro rakyat, pro demokrasi ekonomi (biososioekonomi).

Tulisan sederhana ini sekedar mengingatkan apa hakekat demokrasi ekonomi dalam paradigma baru yang berpedoman biososioekonomi. Semoga bermanfaat.

Kamis, 08 Maret 2012

Target Kerja Pemerintah yang Harus Kita Awasi

Sering kali setiap akhir tahun kita baca atau kita lihat di media massa, baik pejabat pemerintah atau ekonom membicarakan target pertumbuhan PDB untuk tahun berikutnya. Otak kebanyakan orang dipenuhi oleh pikiran pertumbuhan PDB. Hal seperti itu akibat dari dominannya pengaruh buku teks ilmu ekonomi konvensional (neo klasik maupun keynesian). Dalam buku teks itu perekonomian makro digambarkan atau dianalogikan sebagai pabrik raksasa. Kalau produksi meningkat maka kita akan sejahtera. Demikian juga kalau PDB meningkat. Itulah pengaruh buku teks ekonomi konvensional dalam banyak benak orang. Maka wajar kalau otak kebanyakan ekonom dan pejabat pemerintah didominasi oleh target pertumbuhan PDB dan investasi. 

Padahal kalau kita bicara makro ada produksi ada konsumsi. Buku teks ekonomi konvensional itu menggunakan cara berpikir mikro untuk diterapkan pada tataran makro. Hasilnya memang mengecewakan bagi pengelolaan ekonomi makro (publik). Pendekatan pengelolaan perekonomian makro dengan prinsip akuntansi sebagaimana ditawarkan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi belum dikenal luas. Menurut biososioekonomi perekonomian makro bukan seperti pabrik raksasa tetapi seperti bank raksasa dengan aset dan liabilitas yang terdefinisi dengan jelas. Semua aset individu adalah liabilitas bagi publik. Kalau semua aset individu adalah liabilitas maka menggenjot PDB sama dengan menggenjot liabilitas.

Kemampuan keuangan pemerintah dalam mengatasi liabilitas publik atau masalah bukan terletak pada tingginya pertumbuhan PDB dan nominal penerimaan pajak tapi pada tax ratio (nisbah pajak) yaitu jumlah pajak yang diterima dibagi total PDB pada tahun yang bersangkutan. Semakin kecil tax ratio semakin kecil pula kemampuan keuangan pemerintah dalam mengatasi liabilitas publik (dan berbagai masalah). Perlu diingat tax ratio kita masih rendah yaitu 12,3% (2011). Tahun 2002 pernah mencapai 13%. Angka 13% ini pun tergolong rendah, negara tetangga pada tahun yang sama bisa mencapai 17%.

Maka kalau target dan rencana ekonomi pemerintah masih terpaku pada pertumbuhan PDB berarti tindakannya tidak tepat sasaran. Kita juga harus mengawasi target peningkatan tax ratio yang harus dicapai pemerintah. Dengan naiknya tax ratio berarti ada peningkatan kemampuan keuangan pemerintah dalam mengatasi liabilitas publik dan masalah.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.   

Kamis, 01 Maret 2012

Kenaikan Harga BBM. Mengubah Paradigma, Meringankan Beban Rakyat

Rencana pemerintah menaikkan harga BBM mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Kenaikan harga BBM itu akan meningkatkan beban rakyat karena akan diikuti kenaikan harga aneka produk dan jasa khususnya jasa transportasi. Bagi mereka yang pendapatannya pas-pasan atau kurang pasti akan terpukul.

Menurut persepsi orang kebanyakan, korupsi menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa menaikkan harga BBM. Hal itu tidak terlalu salah. Bagi kita yang memahami ekonomi publik kerakyatan, kenaikan harga BBM karena pemerintah belum mengubah paradigma neolibnya yang pro pemilik modal menjadi pro publik-rakyat.

Dampak dari paradigma neolib itu muncul dalam kenyataan berikut.

(1) Masuknya modal asing atau modal privat tidak hanya di industri hulu atau eksplorasi minyak bumi tapi juga di hilir yaitu usaha eceran BBM sehingga usaha pompa bensin asing juga masuk ke Indonesia yang menyebabkan pemerintah harus menyesuaikan harga BBM dengan harga keekonomian. Padahal harga keekonomian tidak selalu mencerminkan harga riil, bisa juga adanya unsur spekulasi sehingga menjadi bubble seperti dulu pernah terjadi,  baca artikel saya "Misteri Laba dan Kesengsaraan Rakyat" http://www.satriopiningitasli.com/2008/10/misteri-laba-dan-kesengsaraan-rakyat.html

(2)Tax ratio kita tetap rendah atau menurun yang menyebabkan kemampuan keuangan pemerintah relatif terbatas. Sebagai contoh pada tahun 2002 tax ratio kita 13,0% sementara sekarang (tahun 2011) turun menjadi 12,3%. Angka 13% itu pun tergolong rendah karena pada tahun tersebut tax ratio negara tetangga bisa mencapai 17%. Benar secara nominal PDB dan penerimaan pajak kita meningkat akan tetapi kalau tax ratio turun maka kemampuan pemerintah untuk mengatasi liabilitas publik juga menurun.

Hanya dengan mengubah paradigma neolib dan diikuti tindakan nyata yang pro rakyat/publik dan pro biososioekonomi (demokrasi ekonomi) yang akan meringankan beban rakyat. Secara matematika sederhana dapat dikatakan bahwa laba (dan kekayaan) berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Rendahnya daya beli rakyat terjadi karena hanya sebagian kecil saja laba yang dikembalikan kepada publik. Kalau semua laba SUDAH dikembalikan kepada semua orang (publik) sesuai prinsip biososioekonomi maka daya beli rakyat tetap terjaga meski mungkin secara nominal harga BBM naik. Persoalannya adalah bahwa belum semua laba dikembalikan kepada publik seperti prinsip biososioekonomi atau demokrasi ekonomi yang benar. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pusat pengaruh dalam civil society baik lokal maupun global untuk mendemokrasikan ekonomi, mengembalikan laba kepada publik. Sementara itu tindakan jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan penghematan, meningkatkan tax ratio, dan memberantas korupsi.

Semoga tulisan sederhana ini dipahami.


Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

http://www.satriopiningitasli.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://www.satriopiningitasli.com/2011/11/pajak-pajak-yang-anti-demokrasi-ekonomi.html

http://www.satriopiningitasli.com/2009/04/krisis-multidimensi-harus-diatasi.html

http://www.satriopiningitasli.com/2008/10/misteri-laba-dan-kesengsaraan-rakyat.html