Minggu, 29 Maret 2009

Fenomena Katak Rebus

Pengantar: Tragedi Situ Gintung 27 Maret 2009 terjadi tepat satu hari menjelang peringatan 4 tahun gempa Nias. Pada waktu itu tanggal 1 April 2005, saya menulis artikel yang berjudul "Fenomena Katak Rebus" tetapi tidak dimuat. Dalam postingan kali ini saya tampilkan tulisan tersebut dengan mengetikkannya kembali. Hukum alam yang sedang bekerja secara perlahan-lahan tetapi pasti sering tidak disadari baik dalam tragedi Situ Gintung maupun bencana ekonomi-finansial yang berakibat pada kemiskinan. Selain ada di blog ini tulisan "Fenomena Katak Rebus" juga ada dalam kumpulan tulisan saya "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua. Di banding edisi pertama, edisi kedua ini memang tidak banyak beredar. Siapa saja yang saya kirimi tulisan "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua ini bisa di lihat dalam postingan terdahulu "Wahyu Keprabon" di blog ini. Semoga menjadi bahan renungan bagi semua pihak termasuk insan pers.


Apabila seekor katak hidup dimasukkan ke dalam panci berisi air kemudian dipanaskan perlahan-lahan, katak tersebut tidak bisa menyadari suatu kenyataan bahwa air yang berada disekelilingnya sedang memanas dan segera mendidih. Katak itu memiliki mekanisme untuk menyesuaikan diri dengan suhu lingkungannya, tetapi tidak tahan ketika air lingkungannya benar-benar sudah mendidih.

Mungkin fenomena ini pula yang saat ini sedang terjadi pada umat manusia. Toto Suparto dalam tulisannya "Terima Kasih Nias", Kompas 31/3 (2005) menanyakan apakah solidaritas itu mesti menunggu bencana? Solidaritas bagi tsunami Aceh 26 Desember (2004) sungguh luar biasa. Ketika manusia mulai melupakannya dan kembali ke dalam rutinitas sesuai prinsip business as ussual, alam mengingatkannya dengan gempa Nias 28 Maret (2005). Tanpa bermaksud mengecilkan derita para korban tsunami Aceh dan gempa Nias, perlu juga diingat bahwa di seluruh dunia ini ada 25.000 orang meninggal setiap hari karena kelaparan dan kemiskinan (Kompas17/06/04). Dalam satu tahun korbannya jutaan orang. Media massa belum memberikan perhatian yang cukup bagaimana mengatasinya termasuk bagaimana membangun dan menggerakkan solidaritas bagi mereka yang lapar dan miskin.

Sering kali kelaparan dan kemiskinan itu dianggap sebagai kesalahan mereka sendiri karena mereka malas, pemerintahannya korup, atau kebrengsekan mereka yang lain. Kita sering menutup mata bahwa kelaparan dan kemiskinan itu terjadi akibat hukum alam yang terjadi perlahan-lahan tetapi pasti. Fenomena ini memang seperti fenomena katak rebus. Kita sering menganggap alam ini tanpa batas dan berlimpah ruah, sehingga sering memakai mekanisme "penyesuaian diri" seperti katak: nanti semuanya beres tanpa keterlibatan kita, toh kemajuan teknologi akan mengatasi segalanya, teori Malthus itu salah. Mekanisme itu mungkin memang berguna tetapi bisa menimbulkan bencana.

Suatu pertanyaan reflektif-kritis yang perlu kita renungkan adalah bahwa kalau alam ini berlimpah ruah tanpa batas, mengapa di alam ini ada kematian? Kalau di alam ini tidak ada kematian, benar ramalan Malthus bahwa populasi manusia akan meningkat tajam secara eksponensial. Seberapa cepat kemampuan teknologi untuk mengimbanginya? Bukankah dengan kematian, alam akan terjaga keseimbangannya? Kalau jumlah kelahiran lebih besar dari jumlah kematian, atau dengan kata lain terjadi pertumbuhan penduduk positif, alam akan mengalami peningkatan beban. Peningkatan beban yang pelan-pelan inilah yang belum disadari sepenuhnya. Kerusakan lingkungan, pemanasan global, kelaparan, dan kemiskinan merupakan efek dari hukum alam yang bekerja secara perlahan-lahan.

Peningkatan beban yang dialami alam ini diperparah dengan kebiasaan buruk manusia yang juga tidak disadari yaitu sistem pewarisan kekayaan. Dengan sistem pewarisan kekayaan ini, mereka yang memperoleh warisan kekayaan berlimpah, kekayaannya akan meningkat secara eksponensial mengikuti deret ukur, sementara itu mereka yang tidak memperoleh warisan, kekayaannya akan meningkat sesuai deret hitung atau bahkan turun.

Data empiris mendukung hal ini, sperti dikutip Franz Dahler (Pijar Peradaban Manusia, Denyut Evolusi, Penerbit kanisius, Yogyakarta, 2000 hlm197) yaitu :"Seperlima penduduk terkaya mengalami kenaikan pendapatan 38,2 persen sedangkan seperlima penduduk termiskin mengalami penurunan 12 persen. Sekitar 2,7 juta orang terkaya bahkan mengalami peningkatan 120 persen dari 1977 sampai 1999". Bahwa korupsi merupakan salah satu penyebab kemiskinan memang benar, tetapi pewarisan kekayaan juga merupakan penyebab yang tak kalah mengerikan. Perlu diketahui bahwa data di atas terjadi di Amerika Serikat bukan Indonesia.

Upaya meningkatkan kesejahteraan manusia selama ini terlalu bertumpu pada maksimalisasi pertumbuhan ekonomi, padahal pertumbuhan ekonomi sendiri adalah beban bagi alam yang salah satu akibatnya adalah pemanasan global. Sama seperti kelahiran individu adalah beban, pertumbuhan ekonomi juga beban bagi alam. Untuk bisa memahami bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelahiran adalah beban bagi alam diperlukan pikiran dan hati yang jernih dan bijaksana. Yang akan membedakan apakah kita homo sapiens sapiens atau bukan adalah kemampuan kita mejawab pertanyaan mengapa di dunia ini ada kematian.

Dengan kejernihan dan kebijaksanaan itu kita bisa merumuskan bahwa ternyata kelahiran itu, dipandang dari sudut pandang alam, adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian. Rumusan ini merupakan dasar dari teori bioekonomi (biososioekonomi) suatu mazhab baru dalam pemikiran ekonomi (Hani Putranto, Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia, 2004). Menurut teori bioekonomi itu pewarisan kekayaan berlimpah pada keturunan pemilik kekayaan akan menyebabkan alam akan mengalami defisit yang menimbulkan berbagai bencana ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Mestinya kalau setiap individu menyadari ini dan mau mendaur ulang kekayaannya (tidak menerima warisan berlimpah) sesuai prinsip bioekonomi maka jutaan orang yang terancam kemiskinan, kelaparan, dan kematian bisa diselamatkan. Program zero atau negative population growth bisa didanai dari kekayaan daur ulang. Benar kata Jon Sobrino, tokoh solidaritas El Salvador yang dikutip Toto Suparto:"Kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan paling miskin maupun tertindas". Kalau kita masih ingin disebut homo sapiens sapiens atau manusia bijaksana yang bijaksana mestinya kita harus menolak untuk menjadi katak rebus.


Senin, 23 Maret 2009

Yang Diharapkan dari Media Konvensional

Kampanye pemilu terbuka sudah berlangsung selama seminggu. Saat ini adalah kesempatan bagi pemilih untuk menimbang-nimbang pilihannya. Suka atau tidak suka, media konvenasional (baik cetak atau tv) masih banyak berpengaruh dalam pengambilan keputusan para pemilih. Dari hasil survey yang dilakukan sebuah harian nasional, lebih dari 80% pencari informasi masih menggunakan media cetak dan tv sebagai sumber informasi. Intrnet hanya sekitar 5%.

Kita semua berharap agar media konvensional memberikan pencerdasan kepada pemilih. Dan bagi kritikus media juga diharap tanggung jawabnya untuk menyampaikan kritik konstruktif baik melalui media konvensional atau media alternatif seperti blog dan facebook. Ini semua dilakukan untuk kebaikan bersama, bukan untuk memojokkan orang atau kelompok tertentu. Kalau rakyat salah pilih tentu bukan kesalahan politisi semata yang melambungkan citra dirinya melebihi realitas tetapi juga tanggung jawab kita semua terutama media konvensional.

Pengalaman kita (dan pengalaman saya) lima tahun lalu harus menjadi bahan pelajaran dan renungan. Lima tahun lalu ada dua hal yang saya sampaikan tetapi tidak pernah dimuat yaitu: pertama, mengenai kesejahteraan rakyat melalui biososioekonomi (bioekonomi). Kedua yang berkaitan dengan satrio piningit, sahyu keprabon, dan desakralisasi jabatan Presiden RI.

Mengenai kesejahteraan rakyat, lima tahun lalu saya sudah menyampaikan pentingnya biososioekonomi dan keyakinan saya dengan metode berpikir bioekonomi. Postingan saya yang akan datang mungkin akan saya isi dengan tulisan saya lima tahun lalu di bawah label: Biososioekonomi Tahun 2002-2004. Berikut ini saya kutipkan pendapat saya enam tahun lalu yang tidak dimuat media cetak. Dalam tulisan saya yang berjudul:"Perang Irak Menurut Paradigma Baru Jalan Ketiga" (ditulis 28/03/2003) saya sampaikan:"Selain itu alasan lain yang mungkin tak terkatakan dalam serangan AS ke Irak, seperti diungkapkan J Sudradjat Djiwandono (Kompas14/03/03) adalah kondisi AS yang sedang tertekan. Hal ini bukan mustahil, pembelian dollar AS besar-besaran pada saat krisis Asia 1997 sebenarnya bukan menunjukkan indikasi bahwa ekonomi AS dan mata uangnya sangat kokoh. Menurut ramalan bioekonomi kejadian itu justru menyebabkan ekonomi AS mendekati chaos karena overheated dimana tingkat laba jatuh dan terjadi zero sum game, keuntungan yang satu diperoleh karena kerugian pihak lain. AS ingin mempertahankan nilai dollarnya". Tulisan ini saya kumpulkan bersama tulisan saya yang lain, saya fotocopy, dan saya jilid dan diberi judul "Wahyu untuk Rakyat". Beberapa orang telah diberi hard copy-nya dalam kurun waktu antara 2005-2006. Siapa saja yang saya kirimi copy "Wahyu untuk Rakyat" itu dapat dibaca dalam postingan saya sebelumnya yang berjudul "Wahyu Keprabon" di blog ini.

Sementara itu mengenai wahyu keprabon atau satrio piningit juga sudah saya tulis 5-6 tahun lalu. Pada intinya saya mohon agar masalah itu tidak dikaitkan dengan jabatan Presiden RI apalagi kalau dikaitkan dengan pergantian presiden yang tidak normal. Seorang presiden (calon presiden) sama seperti seorang manager atau direktur yang taat azas manajemen yang baik serta taat konstiutsi. Dalam situasi krisis global seperti sekarang ini seorang presiden tidak dituntut bekerja sendiri. Ia harus bisa bekerja sama dengan pusat-pusat pengaruh dalam civil society baik lokal maupun global untuk menyejahterakan rakyat, tidak sekedar mengandalkan otoritas fiskal.

Marilah kita bersama-sama memberi pencerdasan kepada publik dan saling mengoreksi bila ada yang khilaf.

Minggu, 22 Maret 2009

Silang Pendapat Para Capres Tentang BLT

Dalam kondisi seperti sekarang ini BLT (bantuan langsung tunai) adalah sebuah dilema. Hal ini tercermin dalam silang pendapat atau saling lempar kritik antara "Blok M" dan "Blok S" seperti diberitakan situs berita Detik Mobile 22/03/2009/pkl09:41. Dalam berita yang berjudul "SBY Jawab Kritikan Mega Tentang BLT" itu SBY mengatakan "BLT itu membantu orang susah. Boleh tidak membantu orang susah, punya hati nggak kita terhadap rakyat miskin."

Sebelumnya Mega mengkritik BLT yang disebutnya merendahkan harga diri bangsa (Detik Mobile 22/03/2009/pkl09:41). Di dalam Kompas Mobile (22/03/2009/pkl09:53) dikatakan bahwa pernyataan Yudhoyono ini sekaligus membantah tudingan sejumlah lawan politiknya yang menilai BLT sebagai program pemerintah menyogok rakyat.

Di dalam kondisi normal tidak menjelang pemilu-pilpres, suatu cash transfer pun sering mendapat kritikan. Para pengritik biasanya hanya memandang dari sudut mikro bahwa cash transfer akan membuat penerima dana menjadi malas dan memupuk sikap ketergantungan. Padahal kalau dilihat dari tataran makro cash transfer itu akan mempertahankan daya beli rakyat agar tidak anjlok. Secara makro kalau konsumsi rakyat terjaga, produksi juga terjaga. Secara makro BLT tidak bermasalah.

Tidak banyak yang bisa disarankan kepada pemerintah dalam waktu pendek menjelang pemilu-pilpres. Yang bisa saya tulis di sini hanya seandainya. Pertama, seandainya kriteria penerima BLT bukan kemiskinan. Tidak mudah menentukan kriteria orang miskin. Apakah seseorang yang tingkat konsumsi per kapita per bulannya adalah Rp 10.000,- di atas garis kemiskinan berarti sudah terbebas dari kemiskinan? Tidak kan. Kalau seandainya kriterianya adalah usia akan lebih sederhana, usia 65 tahun ke atas misalnya. Kalau ternyata penerima cash transfer tidak tergolong miskin maka kita serahkan kepada kebijaksanaan mereka, kepada siapa dana itu akan disumbangkan. Hal ini berarti kita mendistribusikan wewenang. Rakyat tertolong dan pemerintah terhindar dari tuduhan politis.

Yang kedua, seandainya saya pemenang pilpres 2004. Saya tidak akan maju lagi dalam pilpres 2009 dan itu saya nyatakan kepada publik. Sisa waktu pemerintahan saya akan saya dedikasikan untuk rakyat. Baik BLT atau program pro rakyat yang lain tidak akan dituduh sebagai program untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan saya akan mengajak kerjasama pusat-pusat pengaruh dalam civil society agar bersama-sama mengatasi krisis, dengan cara meningkatkan etos sosial anggota masyarakat yang berlebihan harta, bukan untuk memperpanjang kekuasaan saya tetapi benar-benar demi rakyat. Itu kalau seandaninya pemenang pilpres 2009 adalah saya.

Sebagai blogger, di dalam blog saya ini hanya bisa berpesan kepada rakyat, ambil saja uangnya masalah pilihan itu bisa berbeda.

Rabu, 18 Maret 2009

Ubah Paradigma untuk Atasi Krisis Global

Selain biososioekonomi ada pihak lain yang memperingatkan bahwa krisis ini serius dan berbahaya, yaitu Presiden Direktur Bank Dunia Robert Zoellick (Kompas 13 Maret 2009, hlm 10). Tetapi ada juga yang mengatakan resesi AS akan pulih 2010, seperti dikatakan Bernanke Gubernur Bank Sentral AS (Kompas 17 Maret 2009). Bagaimana sebenarnya kondisi ekonomi ke depan?

Menurut hemat saya selama paradigma konvensional yang diterapkan perekonomian tidak akan stabil. Seandainya dikatakan pulih (menurut paradigma lama) perlu dipertanyakan berapa lama kondisi pulih itu bisa bertahan? Instabilitas adalah ciri perekonomian konvensional yang sangat ekspansif dimana liabilitas publik jauh lebih tinggi dari asetnya. Semua pihak harus sadar perlunya mengubah paradigma agar krisis teratasi. Teori ekonomi konvensional (neoklasik atau keynesian) hanya cocok untuk mahasiswa tidak untuk menasihati pemerintah. Teori ekonomi makro biososioekonomi meski masih embrional memiliki kerangka berpikir yang lebih jelas dan benar-benar berupa teori ekonomi publik kerakyatan bukan teori partikelir.

Jumat, 13 Maret 2009

Krisis Global, Revolusi Pemikiran, dan Pemberantasan Korupsi

Lima tahun lalu ada suatu pendapat bahwa kalau korupsi tidak diberantas, Indonesia akan masuk jurang. Pendapat atau kritikan itu dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno kemudian dikutip dalam sebuah berita di halaman pertama harian nasional pada Oktober 2003. Sementara itu ada juga pendapat lain yaitu dari Mubyarto (alm) yang menyatakan bahwa kalau tidak melakukan revolusi pemikiran Indonesia akan masuk jurang. Itu ditulis Mubyarto dalam sebuah opini yang dimuat harian yang sama.

Suatu opini dari seorang cendekiawan atau elite masyarakat yang kemudian diberitakan oleh media massa sering menjadi pandangan arus utama. Atau opini seorang elite bisa dianggap sebagai arus utama dan perlu mendapatkan pemberitaan besar. Yang memprihatinkan kemudian adalah kalau opini seperti itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran.

Tulisan ini tidak mempertentangkan antara pemberantasan korupsi dan revolusi pemikiran. Tetapi tentu ada yang membuat saya prihatin sehingga saya perlu menuliskannya di blog ini. Keprihatinan saya adalah kalau kemudian ada anggapan bahwa pemberantasan korupsi dijadikan satu-satunya syarat agar kesejahteraan rakyat terpenuhi. Dan parahnya anggapan seperti itu lebih mudah diadopsi oleh massa rakyat berpendidikan rendah yang jumlahnya cukup besar. Hal ini pasti akan berpengaruh pada pemilu dan pilpres.

Tidak hanya kepada massa rakyat berpendidikan rendah, kepada mereka yang berpendidikan S1 pun ternyata tidak mudah menjelaskan bagaimana perlunya sebuah revolusi pemikiran. Ketika krisis ekonomi global menghantam semua negara, seharusnya semua pihak menyadari bahwa revolusi pemikiran itu perlu dilakukan. Kalau negara-negara yang lebih bersih dari Indonesia saja terkena krisis, maka kiranya kita perlu meninjau dan merevolusi cara berpikir kita atau pemikiran kita yang neoliberalistis. Bukan berkutat pada masalah korupsi semata.

Apakah korupsi terjadi terutama karena disebabkan oleh pemujaan yang berlebihan terhadap uang dan materi seperti dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno ("Korupsi Telah Membahayakan Demokrasi" Kompas 07/03/2009 hlm1)? Tidak mudah untuk menjawabnya. Tetapi ada hal yang menarik dari 10 koruptor kakap menurut daftar StAR Initiative. Sepuluh orang yang masuk daftar itu adalah:(1)Soeharto, Indonesia (2)Ferdinand Marcos, Filipina (3)Mobutu Sese Sesko, Kongo (4)Sani Abacha, Nigeria (5)Slobodon Milosovic, Serbia Yugoslavia (6)Jean Claude Duvalier, Haiti (7)Alberto Fujimori, Peru (8)Pavlo Lazarenko, Ukraina (9)Arnoldo Aleman, Nikaragua dan (10)Joseph Estrada, Filipina (sumber http://seldomthings.blogspot.com).

Entah kebetulan atau tidak kesepuluh orang yang masuk daftar itu didominasi oleh mereka yang berasal dari peradaban Jawa madya, Katolik, dan komunis. Ironisnya justru peradaban-peradaban inilah yang menganggap tabu suatu aktivitas mencari laba sebagai pebisnis. Peradaban komunis malah melarangnya tidak sekedar menganggapnya tabu. Tidak semua orang yang masuk daftar itu berasal dari rejim otoriter, Joseph Estrada berasal dari rejim demokratis.

Krisis besar global seharusnya diatasi dengan revolusi pemikiran dengan mengimplementasikan ekonomi jalan ketiga (biososioekonomi) sebagaimana selalu saya usulkan dalam postingan lain di blog ini. Selain itu agaknya sudah saatnya kita bersikap netral terhadap profesi pebisnis. Artinya profesi pebisnis bukan sesuatu yang mulia tetapi juga bukan sesuatu yang hina. Tidak hina inipun harus tetap dalam konteks biososioekonomi yang menentang pewarisan kekayaan berlimpah.

Sungguh menegangkan dan tidak nyaman hidup di suatu peradaban yang memandang profesi itu sebagai paria atau binatang ekonomi semata. Mungkin karena itu pulalah orang kemudian rame-rame mau menjadi pejabat pemerintah atau legislatif. Mencari kekayaan dengan cara bisnis (legal dan fair) tabu tetapi mendapt hadiah (kekayaan) karena penalahgunaan jabatan dianggap terhormat. Budaya memandang profesi pebisnis sebagai sesuatu yang hina ini perlu diubah.

Sebagai agenda nasional pemilu dan pilpres tidak boleh dihancurkan oleh pihak-pihak yang mempropagandakan golput betapapun korupsi belum bisa diberantas dengan tuntas. Saya khawatir banyaknya golput bisa dieksploitasi oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil alih kekuasaan secara tidak konstitusional. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan dibanding pemberantasan korupsi yaitu revolusi pemikiran. Korupsi memang harus diberantas tetapi jangan hanya berkutat pada pemberantasan korupsi sementara revolusi pemikiran diabaikan. Apa yang disuarakan oleh Mubyarto lima tahun lalu dan apa yang saya tekuni selama ini_yang berkaitan dengan biososioekonomi_sangat relevan dengan kehidupan rakyat kini.

Senin, 09 Maret 2009

Berbagi

Di tengah kesibukan mencari nafkah, saya bersama rekan-rekan muda saya menyempatkan diri untuk berbagi dengan mengunjungi sebuah panti asuhan di Puncak Jawa Barat Minggu 8 Maret 2009. Perjumpaan dengan anak-anak panti asuhan telah memberikan pengalaman tersendiri bagi saya. Ketika acara akan berakhir dengan pembagian hadiah, seorang anak yang berkulit agak gelap lengket di pangkuan saya tidak mau disuruh berdiri bersama teman-temannya yang lain untuk antri menerima bingkisan. Untungnya pengasuh datang dan membujuknya berdiri. Foto dapat dilihat di mobile site saya http://satriopiningitasli.param.mobi/news3

Kamis, 05 Maret 2009

Jalan Ketiga Ekonomi Dunia

Suka atau tidak suka facebook telah membantu saya untuk berkenalan dengan teman-teman baru yang memiliki minat sama yaitu brdiskusi mengenai masalah krisis ekonomi global dan tentang kesejahteraan rakyat Karena ada permintaan dari rekan baru saya yang saya kenal melalui facebook agar saya menjelaskan konsep jalan ketiga saya maka saya memposting tulisan ini beserta relevansinya dengan pemilihan umum dan pemilihan presiden.

Jalan ketiga saya ini merupakan ringkasan buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Dunia yang diterbitkan oleh Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS) Jakarta pada Oktober 2004.

Jalan ketiga saya berbeda dengan jalan ketiga rumusan Anthony Giddens. Jalan ketiga Giddens mengikuti paradigma Thomisian (Thomas Aquinas) dan cenderung Marxian sementara jalan ketiga saya menggunakan paradigma baru non Thomisian. Maka wajar kalau jalan ketiga Giddens cenderung ke jalan ketiga politik sementara jalan ketiga saya ke arah ekonomi. Jalan ketiga Giddens tidak memiliki konsep ekonomi yang jelas. Sementara jalan ketiga saya jelas-jelas didasari grand theory ekonomi makro baru yang saya namakan biososioekonomi atau dipendekkan menjadi bioekonomi.

Teori biososioekonomi tidak berbicara mengenai pabrik tetapi mengenai manusia dari lahir sampai mati. Pabrik dimiliki oleh manusia juga baik sebagai perusahaan perorangan atau PT sehingga kalau kita berbicara manusia bisa mewakili keseluruhan. Biososioekonomi merupakan penjumlahan aktivitas individu maupun kekayaannya (tabungan, saham, property, dll) baik yang terakumulasi maupun yang dibayarkan(dihibahkan) sebagai pajak atau derma (termasuk daur ulang).

Rumusan dasar biososioekonomi adalah: kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian. Intinya biososioekonomi menentang pewarisan kekayaan berlimpah. Kalau tubuh manusia harus didaurnulang menjadi "pupuk" maka kekayaan pribadi pun harus didaur ulang tidak bisa diwariskan. itu adalah hukum alam, sesuai dengan hukum keseimbangan (akuntansi) dan kelangkaan (ekonomi). Maka semua milik individu adalah liability bagi publik dan yang dihibahkan adalah aset (lihat neraca herucakra society di makalah saya yang berjudul "Bioekonomi, Ekonomi Masayarakat, dan Kependudukan" di www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id).

Agar kekayaan berlimpah tidak diwariskan tetapi didaur ulang secara non violence, ada 4 cara yang diusulkan untuk dilakukan yaitu (1)kesadaran masing-masing individu (2)tekanan institusi agama pada umatnya masing-maisng (3)etika atau norma sosial (4)kontrol oleh masyarakat konsumen. Yang dimaksud etika atau norma sosial adalah anjuran apabila seseorang tidak mampu untuk mendidik anak agar tidak meminta warisan maka orang tersebut sebaiknya tidak mempunyai anak, atau kalau adat atau agamanya mewajibkan semua pengikutnya mempunyai anak maka sebaiknya orang tersebut jangan mengakumulasi kekayaan banyak-banyak. Dengan adanya dua pilihan ini berarti ada kebebasan sehingga suatu kontrol oleh masyarakat konsumen (butir 4) mempunyai legitimasi etis yang kuat sehingga tidak dituduh otoriter.

Saya tidak mengusulkan suatu hukum positif negara karena kekayaan daur ulang itu harus terdistribusi ke semua orang di seluruh dunia tanpa sekat teritorial, primordial, atau sekat sektarian. Kekayaan atau laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen yaitu semua orang karena tanpa melakukan kegiatan konsumsi manusia pasti mati. Demokrasi politik mengenal prinsip:"dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Sementara demokrasi ekonomi mengenal prinsip:"dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen". Tentu yang dimaksud konsumen adalah konsumen sosial atau semua orang termasuk yang tidak memiliki daya beli. Memang dibutuhkan institusi baru yaitu organisasi konsumen sosial yang menuntut daur ulang kekayaan untuk menjaga daya beli rakyat dan stabilitas ekonomi moneter.

Masyarakat yang aggotanya mendaur ulang kekayaan pribadinya dengan cara-cara non violence saya namakan herucakara society (masyarakat terbuka yang adil). Masyarakat terbuka di sini sama dengan yang dirumuskan Popper yaitu masyarakat yang percaya pada akal, kebebasan, dan persaudaraan. Tanpa mendaur ulang kekayaan pribadinya, masyarakat terbuka sebenarnya tidak benar-benar terbuka. Masyarakt terbuka yang adil inilah yang bisa menjadi mitra negara. Sehingga nantinya, dalam paradigma saya, negara fokus pada tiga tugas (1)memberikan perlindungan keamanan (2)menyediakan infrastruktur termasuk redistribusi lahan untuk petani, menyediakan lahan untuk pasar, pedagang kaki lima, sekolah, puskesmas dll (3)menyediakan sistem yudisial yang fair dan tidak memihak. Sementara itu masyarakat bertugas pada bidang sosial ekonomi secara global termasuk mengontrol bank sentral. Di antara tiga poros keadaban publik (negara, pasar,dan masyarakat) hanya dua yang bisa mengglobal yaitu pasar dan society.

Meskipun nantinya tugas sosial ekonomi diemban masyarakat bukan berarti saat ini kita mentolerir keagalan eksekutif dan legislatif. Tahun 2004 adalah sebuah contoh dimana civil society kebobolan dengan adanya orang-orang yang memiliki harta berlimpah dari warisan yang duduk di pemerintahan. Menurut saya ini terjadi karena media konvensional baik cetak atau televisi tidak mereformasi diri.

Sejak Juni 2002 saya mengirim naskah tetapi tak satupun yang dimuat. Bahkan setelah buku saya terbit pun tetap susah. Prof. Dr. Mubyarto (alm) adalah ilmuwan yang jujur dan rendah hati yang mau memberi tempat bagi karya saya. Kalau diminta menulis yang bertentangan dengan biososioekonpmi, saya tidak mau meskipun akan dimuat. Di luar biososioekonomi saya masih bisa hidup. Kalau kepepet pulang kampung buka warung. Lebih baik menjadi pedagang tetapi jujur dari pada menjadi ekonom atau wartawan tetapi melacur.