Sabtu, 29 November 2008

Dari Pesta Blogger 2008: Harus Diakui Media Blog Lebih Demokratis

Sabtu 22 November 2008 saya mengikuti Pesta Blogger 2008. Saya mendaftar langsung pada hari H sehingga blog saya ini tidak ditampilkan di situs Pesta Blogger 2008. Tak ada wartawan konvensional yang tahu. Yang tahu adalah wartawan pribadi atau blogger. Pagi itu saya bertemu teman sekantor yang sesama blogger, hanya saja teman saya itu tidak tahu nama blog saya karena saya belum menginformasikannya.

Peserta Pesta Blogger kali ini lebih dari 1.000 orang blogger, ada beberapa yang belum mempunyai blog. Tidak semuanya berasal dari Jakarta, bahkan banyak yang berasal dari luar Jakarta seperti Bali, Kalimantan, Palembang, Sulawesi, Yogyakarta, dll. Pejabat pemerintah yang hadir mengatakannya sebagai ajang pertemuan kaum muda ala Sumpah Pemuda. Pesta ini memang direncanakan Oktober 2008 tetapi sempat tertunda sebulan.

Beraneka ragam pemilik blog yang hadir. Tidak hanya blog politik, banyak blog yang non politik seperti blog traveling (wisata), blog gaul, bisnis, dll. Tidak sedikit yang menganggap aktifitas blogging sebagai just for fun.

Pada saat istirahat makan siang saya mengunjungi stand Oxfam yang tampil dalam rangka perayaan 50 tahun kehadirannya di Indonesia. Oxfam adalah LSM asal Inggris yang bergerak dalam pendampingan orang miskin. Saya mendapat pin "Be The Change Campaign" dengan slogannya "Stop Harming, Start Helping" dari petugas Oxfam Dian Kartikasari, yang langsung saya pakai di baju saya. Senang sekali saya memakainya. Bahkan ketika saya memulai aktifitas saya di kantor dua hari kemudian, pin itu masih saya pakai. Menurut saya, sekecil apa pun tindakan kita selama itu masih bisa kita lakukan untuk membantu mereka yang lapar dan miskin, mengapa tidak kita lakukan. Meskipun saya punya paradigma dan agenda sendiri dalam pengentasan kemiskinan. Apa yang dilakukan Oxfam dan kebanyakan LSM lain umumnya bergerak pada tataran mikro, sementara yang saya lakukan dengan teori biososioekonomi adalah pada tataran makro. Baik mikro maupun makro kedua-duanya harus dilakukan dalam pengentasan kemiskinan.

Selesai jam istirahat makan siang saya langsung brgabung dengan sesi sosial politik yang dimoderatori Martin Manurung pemilik blog (web) www.martinmanurung.com. Hadir dua orang blogger luar negeri yakni Mr. Brown (Singapura) dan Mr. Jeff Ooi (Malaysia). Jeff Ooi adalah seorang politisi yang sebelumnya seorang blogger. Menurutnya blog merupakan sarana yang baik untuk mengkritik opini arus utama atau propaganda resmi 9pemerintah).

Banyak yang bisa saya dapatkan dari Pesta Blogger 2008 itu. Dalam beberapa hari kemudian saya merenungkannya. Saya agak menyesal juga mengapa baru sekarang nge-blog bukan beberapa tahun lalu. Kalau saya nge-blog beberapa tahun lalu, tulisan saya mengenai demokrasi ekonomi dan biososioekonomi sudah bisa diakses oleh semua orang dari seluruh dunia. Mengapa harus tergantung pada media konvensional yang nyata-nyata tidak demokratis dan sangat tidak interaktif?

Perbedaan antara media blog dan media konvensional adalah bahwa blog adalah media yang editor less atau bahkan "no editor." Pengunjung blog bisa berperan sebagai editor dalam pengertian menyaring sendiri informasi yang dianggap kredibel dari blog dan berhak menyampaikan komentar yang konstruktif. Sementara para blogger bisa menampilkan gagasannya secara lebih orisinil. Interaksi dengan pembaca blog lebih setara dibandingkan interaksi dalam media konvensional yang sangat otoriter (media cetak) dan semi otoriter (media televisi).

Dalam hal ini Pak De saya telah memberikan pelajaran yang berharga ketika saya dulu tinggal bersamanya di masa remaja saya dari SMP sampai lulus S1 UGM. Pak De saya (RY Marjuki) menasihatkan kalau bisa berlangganan lebih dari satu media cetak dan harus membaca lebih dari satu. Sebagai wartawan konvensional beliau tahu apa akibatnya kalau seseorang hanya dijejali informasi dari satu media cetak selama bertahun-tahun hidupnya.

Tidak semua orang mampu berlangganan lebih dari satu media cetak dalam kurun waktu bersamaan. Seorang yang setiap hari mengunjungi perpustakaan yang lengkap atau menginap di hotel berbintang, bisa membaca lebih dari satu media cetak setiap hari. Tetapi tidak semua orang bisa seperti itu. Dengan adanya media internet dan blog seseorang bisa mengunjungi dan membaca lebih dari satu koran dan blog setiap harinya dengan biaya yang relatif lebih murah. Sebagai contoh melalui ponsel black berry dan operator XL kita bisa membaca lebih dari satu koran dan blog sepuasnya setiap hari hanya dengan biaya Rp 5.000 per hari. Yang tidak memiliki ponsel black berry pun tetap bisa mengakses lebih banyak sumber. Betapa demokratisnya dunia maya dan blog. Otak kita tidak lagi dijejali oleh satu surat kabar saja selama bertahun-tahun.

Memang tidak semua informasi dari blog kredibel. Akan tetapi sebagai blogger maupun pengunjung blog siapapun juga punya tanggung jawab untuk menjernihkan yang keruh, meluruskan yang bengkok, mendinginkan yang memanas, merelaksasikan yang menegang, dan (seperti Pak Besut) merapikan/menghaluskan yang kusut. Kita yang sudah dewasa dan memiliki kombinasi IQ dan EQ yang memadai pasti sanggup mengemban tanggung jawab seperti ini.

Apakah Anda masih mau meracuni otak Anda dengan hanya mengkonsumsi satu surat kabar saja setiap hari? Saya tidak. Kalau Anda masih muda tetapi hanya mengkonsumsi satu surat kabar setiap hari itu jadul namanya alias seperti jaman dulu, jaman kakek atau Oom-oom kita. Kita sendiri yang bisa mendemokrasikan otak kita dengan membaca dari berbagai sumber.




Minggu, 16 November 2008

Catatan atas Fenomena Obama: Pergantian Presiden Saja Tidak Cukup

Obama adalah sebuah fenomena. Sebuah fenomena spektakuler. Ia adalah Presiden pertama AS yang berlatar belakang kulit berwarna. Partisipasi warga AS dalam pilpres 2008 ini juga sangat besar. Berbagai pihak menyebut kemenangan Obama itu sebagai kemenangan demokrasi. Besarnya partisipasi warga negara AS mengikuti pilpres 2008 juga menunjukkan tanda besarnya harapan warga AS akan perubahan ke arah yang lebih baik, lebih sejahtera.

Di luar AS kemenangan Obama juga disambut hangat, sebagai suatu titik tolak akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Sementara itu George W Bush_seperti dikutip oleh media massa_ menunjukkan sikap defensifnya dengan sistem kapitalisme. Bahkan Bush juga mendesak agar pertemuan G-20 itu fokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi bukan penghakiman terhadap regulasi AS yang tidak memadai (Kompas, 15 November 2008, hlm 10:"UE Kini Berharap pada Obama").

Penggantian Presiden memang salah satu langkah untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun apakah hal itu cukup memadai untuk membawa seluruh dunia ke arah yang lebih adil dan sejahtera. Perlu diingat bahwa Presiden Obama dipilih oleh warga negara AS untuk kesejahteraan dalam negeri mereka. Perannya dalam tata ekonomi global yang lebih adil- sejahtera bukannya tidak ada, tetapi perlu suatu paradigma baru yang perlu diketahui dan dipahami baik oleh pemerintah (termasuk Presiden Obama) maupun civil society agar perubahan ke arah yang lebih adil dan sejahtera bisa terwujud. Untuk itulah catatan ini disajikan.

Dalam tulisannya "Menelanjangi Liberalisme" (Kompas, 13 Oktober 2008), Ahmad Erani Yustika mengatakan:"Menjadi Jelas, gagasan liberalisme dianut banyak pemikir bukan karena kedigdayaan bangun teorinya, tetapi karena rapuhnya tiang ide sosialisme. Jadi, yang dibutuhkan saat ini adalah kontestasi pemikiran genial yang tidak diikat fanatisme dua fundamentalis ideologi ekonomi itu." Menurut saya kritik terhadap kapitalisme (neoliberalisme) bukan berarti kita menerima ekstrim lainnya (komunisme). Ada jalan tengah yang kongkrit, meskipun belum menjadi arus utama. Tudingan Bush bahwa kritik terhadap kapitalisme berarti isolasi ekonomi(Kompas, 31 Oktober 2008, hlm 44) tidak benar. Ada jalan tengah atau jalan ketiga yang jelas nyata bedanya tanpa harus membenci kapitalisme, tetapi juga tidak menolak redistribusi aset individu.

Keboborokan atau kebusukan paradigma neoliberal perlu ditelanjangi tuntas agar semua pihak mengetahui duduk perkaranya. Khusus dalam blog saya ini, saya membahas dua kebobrokan paradigma neoliberal yaitu: peningkatan harga saham dan ideologi pertumbuhan PDB.

Menelanjangi Paradigma (Neoliberal) Harga Saham

Dalam sistem ekonomi liberal, pelaku ekonomi baik individu atau institusi bebas membeli atau menjual saham perusahaan yang sudah go publik. Saham-saham itu dibeli sebagai instrumen investasi. Tidak hanya institusi atau orang kaya saja yang membeli saham, individu (rumah tangga) menengah juga menyisihkan pendapatannya untuk dibelikan saham. Pembeli saham mengharapkan kenaikan harga saham atau (dan) deviden yang dibagikan perusahaan yang sahamnya dibeli.

Dalam beberapa kasus kenaikan harga saham tertentu adalah wajar dan mungkin berkaitan dengan fundamental ekonomi perusahaan dan peningkatan laba perusahaan itu. Laba suatu perusahaan bisa meningkat karena pasarnya meningkat. Sebagai contoh laba perusahaan operator telepon seluler meningkat karena pasarnya meningkat.Tetapi pada saat bersamaan terjadi penurunan pasar radio panggil (pager) dan usaha percetakan kartu ucapan. Dengan adanya layanan SMS dari operator telepon seluler maka sebuah pesan tertulis atau ucapan ulang tahun atau ucapan selamat hari raya lebih mudah dan murah dikirimkan. Peningkatan laba perusahaan karena dinamika pasar (dan teknologi) seperti itu adalah wajar. Wajar juga kalau saham perusahaanseeprti itumeningkat.

Yang tidak wajar adalah peningkatan harga saham total, tercermin dengan peningkatan indeks harga saham total (gabungan). Hal itu tidak selalu berkaitan dengan fundamental perusahaan atau membaiknya ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan harga saham total itu boleh jadi karena arus investasi yang masuk ke bursa saham memang membesar, tidak terkait fundamental ekonomi perusahaan. Investor pertama menjual sahamnya kepada investor kedua yang harga sahamnya sudah meningkat. Investor kedua menjual sahamya kepada investor ketiga yang harganya lebih tinggi dari pada harga saham yang dibeli oleh investor kedua itu, demikian seterusnya sehingga terjadi penggelembungan harga (bubble). Apabila gelembung itu pecah akan memakan korban yang tidak hanya investor, tetapi juga perusahaan investasi seperti Lehman Brothers.

Ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga yang saya tawarkan tidak anti peningkatan kekayaan seseorang. Tetapi penggelembungan harga saham seperti itu mestinya harus dihindari. Seseorang yang nilai aset bersihnya Rp 2,5 Milyar, kekayaannya ini bisa meningkat bukan karena peningkatan harga saham yang dimilikinya tetapi karena mendapat deviden (dan pendapatan lain) sehingga setahun kemudian nilai aset bersihnya menjadi Rp 2,95 Milyar. Peningkatan harga saham total bukan indikator perbaikan ekonomi tetapi tanda awal datangnya bencana finansial.

Dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia (2004) saya sudah memperingatkan (hlm 60):"Metode analisis Marx mengenai siklus bisnis dan kejatuhan tingkat keuntungan penulis perbarui dengan menggunakan Hukum II Termodinamika sebagaimana dipaparkan dalam bab "Bioekonomi". Marx hanya menerapkannya pada sektor riil (manufaktur), sedang metode penulis bisa diterapkan untuk sektor keuangan (pasar uang, valas, dan saham) serta properti. Ramalan Marx tentang kejatuhan kapitalisme sebenarnya terlalu ambisius. Menurut Hukum II termodinamika, yang terjadi bukan kejatuhan kapitalisme tetapi suatu kondisi yang disebut chaos. Ekonomi tidak bisa diprediksi, siapa atau investasi mana yang akan mengalami keuntungan atau kerugian juga tidak bisa diprediksi, bahkan terjadi zero sum condition, yakni keuntungn yang satu diperoleh karena kerugian pihak lain. Kemudian alam akan mengoreksinya dengan depresi besar atau resesi berkepanjangan".


Pertumbuhan PDB=Beban!

Keboborkan lain paradigma neoliberal adalah ideologi pertumbuhan PDB. Bagi masyarakat awam sering terjadi persepsi rancu antara PDB (produk domestik bruto) dengan pertumbuhan PDB. Dalam komunikasi publik pertumbuhan PDB diistilahkan sebagai pertumbuhan ekonomi.
Istilah ini sebenarnya tidak tepat karena tidak menggambarkan kondisi ekonomi publik kerakyatan yang riil.

PDB adalah total nilai produksi jasa dan barang akhir di suatu negara selama satu tahun. Hal ini menggambarkan penjumlahan pendapatan individual anggota masyarakat selama satu tahun yang berupa gaji pegawai, laba perusahaan perorangan, laba PT, dan pendapatan bunga serta sewa.

Pendapatan individual anggota masyarakat tentu sangat bervariasi dari yang pendapatannya kurang atau pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan fisik minimalnya sampai yang pendapatannya ratusan kali atau ribuan kali melampaui itu, sehingga kelebihannya bisa ditabung atau diinvestasikan ke tempat lain.

Pertumbuhan PDB atau yang diistilahkan sebagai pertumbuhan ekonomi memang berarti peningkatan pendapatan anggota masyarakat secara keseluruhan. Hal itu hanyalah gambaran total. Bahwa ada anggota masyarakat pendapatannnya tidak meningkat tidak bisa dideteksi dengan ukuran pertumbuhan PDB.

Meskipun pertumbuhan PDB adalah 0% maka tetap saja ada anggota masyrakat yang asetnya meningkat yaitu mereka yang pendapatannya melampaui kebutuhan fisik minimal. Pertumbuhan PDB 0% bukan berarti tidak ada pendapatan atau laba yang dibukukan. Pertumbuhan PDB 0% hanya berarti tidak ada peningkatan pendapatan total.

Apabila pertumbuhan populasi penduduk adalah 0% (seharusnya memang dikendalikan tidak lebih dari 0% per tahun) maka sebenarnya tidak diperlukan pertumbuhan PDB bila tingkat PDB-nya sudah cukup tinggi. Ada produksi, pasti harus ada konsumsi, mau dikemanakan produksi itu? Mau diekspor ke luar planet bumi?

Pertumbuhan PDB juga memerlukan penyediaan energi yang cukup. Sumber energi fosil terbatas. Energi nabati akan berebut lahan dengan tanaman pangan yang merupakan kebutuhan semua orang termasuk rakyat kebanyakan yang daya belinya terbatas. Belum lagi gas-gas rumah kaca yang dilepaskan juga meningkat dengan peningkatan PDB. Negara dengan tingkat PDB yang tinggi seperti AS juga penyumbang gas-gas rumah kaca yang besar pula. Hal itu akan meningkatkan pemanasan global yang bisa menjadi bencana. Sama seperti pertumbuhan populasi penduduk, pertumbuhan PDB adalah beban bagi alam.

Dari sudut pandang ekonomi publik, ideologi pertumbuhan PDB juga menohok logika akuntansi yang sehat. Seorang mahasiswa S1 Ekonomi yang baru belajar Ekonomi Makro pun sudah tahu bahwa deposito anggota masyarakat adalah liabilitas bagi bank sentral. Apa yang menjadi liabilitas bagi bank sentral adalah liabilitas bagi publik, karena sistem ekonomi publik harus membayar bunga bagi deposito itu. Menggenjot PDB setinggi mungkin sama dengan menggenjot liabilitas publik. Hal-hal yang sederhana seperti ini seharusnya dipahami dan diketahui oleh pemangku kepentingan publik (baca:pejabat pemerintah) yang notabene titelnya doktor.

Memang, pertumbuhan PDB 0% atau rendah dalam jangka panjang bisa mengancam industri perbankan. Kondisi itu berarti penurunan kredit investasi yang disalurkan perbankan. Perbankan harus menggenjot habis-habisan kredit konsumsi dan harus melakukan merger untuk meningkatkan skala ekonominya supaya besaran laba nominalnya bisa dipertahankan meskipun mungkin persentsenya menurun. Kondisi seperti itu juga tidak menutup kemungkinan ambruknya perbankan. Dalam perekonomian yang mengaplikasikan teori ekonomi konvensional (baik neoliberal maupun keynesian), pertumbuhan PDB 0% atau rendah dalam jangka panjang adalah ancaman bagi industri perbankan. Tetapi solusinya tentu bukan dengan menggenjot PDB setinggi-tingginya. Untuk itu semua pihak harus terbuka terhadap suatu paradigma baru atau grand theory baru yang merupakan teori ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga.

Mengganti Grand Theory

Dalam paradigma nonkonvensional pertumbuhan PDB 0% tidak akan mengancam industri perbankan selama pertumbuhan populasi penduduk maksimum 0%. Dalam paradigma konvensional (neoliberal ataupun keynesian) pertumbuhan PDB 0% mengancam industri perbankan karena liabilitas publik jauh lebih besar dari aset publik (government+society). PDB adalah ukuran pendapatan individual anggota masyarkat dalam satu tahun. Akumulasi dari kelebihan pendapatan individual sebagian anggota masyarakat menumpuk menjadi aset individual aggota masyarakat. Aset pribadi ini adalah beban (liabilitas) bagi perekonmian publik. Seseorang yang pernah belajar akuntansi mestinya tahu logika semacam ini.

Jumlah aset publik (government+society) bisa ditingkatkan dengan melakukan tiga hal berikut ini sebagaimana telah saya kemukakan dalam buku saya Herucakra Society jalan Ketiga Ekonomi Dunia (hlm11, tabel1). Ketiga hal tersebut adalah meningkatkan pajak individu, derma pribadi, dan memulai kebiasaan baru untuk mendaur ulang kekayaan pribadi berlimpah atau tidak mewariskan kekayaan berlimpah pada keturunan pemilik kekayan sendiri. Inilah paradigma ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga itu..

Paradigma ekonomi jalan ketiga ini berbeda dengan apa yang diusulkan Ahmad Erani Yustika mengenai pajak progresif (Kompas, 11 November 2008). Dalam tulisannya yang berjdul "Obama dan Tata Ekonomi" Yustika mengatakan perlunya pajak progresif untuk warga yang lebih kaya (pendapatan di atas 250.000 dollar AS). Memeratakan pendapatan memang bisa meningkatkan permintaan total (agregate demand) sesuai pandangan keynesian. Akan tetapi paradigma semacam itu akan mengekalkan pandangan neoliberalistik bahwa laba (pendapatan) setelah dipotong pajak dan derma adalah pengembalian yang sah atas modal (bakat/keahlian).

Ujung-ujungnya akumulasi laba (pendapatan) yang menumpuk dalam aset pribadi berlimpah selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, dan diwariskan kepada anak cucu dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sah, tidak dianggap sebagai beban bagi perkonomian publik kerakyatan. Paradigma yang hanya mengkaitkan nisbah pajak dengan PDB jelas salah kaprah, karena PDB hanyalah pendapatan individual tahunan. Yang diperlukan adalah redistribusi aset individu sebagaimana saya usulkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia (2004) melalui daur ulang kekayaan pribadi dalam teori biososioekonomi.

Meskipun masih bersifat embrional, teori biososioekonomi sebagai teori ekonomi jalan tengah memiliki metode berpikir dan kerangka berpikir yang jelas. Ukuran-ukurannya jelas dan accountable. Apa yang disebut aset dan libilitas oleh masyarakat (publik) juga jelas. Tabel yang menggambarkan neraca herucakra society itu dimuat dalam tulisan saya "Bioekonomi, Ekonomi Masyarkat, dan Kependudukan" yang ditampilkan oleh situs Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang bisa dikunjungi oleh orang dari seluruh dunia. Ekonomi jalan tengah bukan lagi ekonomi yang tak jelas seperti dulu_bukan ini atau bukan itu_ tetapi suatu ekonomi yang jelas, kongkrit, dan tegas. Untuk mengganti teori ekonomi yang neoliberlaistik memang sedikit banyak tergantung pada kehendak dan kepentingan. Kepentingan privat atau partikular itulah yang masih menjadi arus utama.

Pr0f. Dr. Mubyarto (alm) dan saya termasuk orang-orang yang tidak percaya bahwa mengganti orang saja cukup. Yang pertama harus diganti adalah grand theory-nya bukan sekedar regulasi ini atau itu. Sementara orangnya mungkin memang perlu diganti, mungkin juga tidak tergantung berbagai pertimbangan. Dalam kasus pilpres AS 2008, penggantian presiden memang satu langkah yang diperlukan.